Setelah kemarau panjang, hujan-pun akhirnya turun, warga-pun menyambutnya dengan suka cita. Sebelum datangya musim hujan terlebih dahulu masyarakat Solokuro mempunyai tradisi Tumbu’an pada tanggal 10 bulan 10. Masyarakat biasanya pergi ke ladang dengan membawa peralatan bajak seperti krakal atau garu, mereka ngrakal dan nggaru di tanah yang masih gersang itu, mungkin ini pertanda kesiapan bahwa sebentar lagi mereka akan disibukkan dengan aktivitas ke sawah/ladang.
Hujan pertama datang begitu derasnya, memberikan
harapan baru bagi semua mahluk di bumi. Hujan tidak berhenti bahkan hingga malam tiba, suasana dingin, warga Solokuro yang taat itu tetap menuju mushollah dan masjid dengan membawa capil atau pelindung hujan seadanya. Selepas isya’ mereka pulang untuk beristirahat, tapi hujan masih belum berhenti hingga masyarakat terlelap ditengah lebatnya hujan.
Subuh berkumandang hujan telah reda, mentari di ufuk timur memberi kehangatan dengan sinar paginya yang cerah, sungguh suasana yang sangat menyenangkan. Dan ..ini yang menjadi kampung riuh, “Laron”. Iya laron begitu banyak berterbangan rendah dijalanan. Anak-anak kecil-pun dengan riang berlarian kesana kemari untuk menangkapnya.
Ri-ri-ndek…ri-ri-ndek ucap beberapa anak kecil itu agar laron-laron itu terbang me-rendah dan bisa mereka tangkap. Laron-laron itu kemudian mereka kumpulkan dan jika sudah mendapatkan jumlah yang banyak akan diolah dengan cara dibakar, digorang, atau menjadikannya isian rempeyek, bahkan tidak sedikit yang langsung memakannya mentah-mentah. Laron memang sangat lezat, tidak salah anak-anak desa Solokuro bahkan orang dewasa begitu menyukainya, tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan sebagai lauk pauk, hitung-hitung menghemat biaya belanja ikan.
Tidak hanya laron yang bisa dinikmati dimusim hujan, tapi juga jangkrik. Tapi yang satu ini bukan dinikmati untuk dimakan, tapi disukai karena suara ‘ngerik-nya’ yang merdu. Di musim hujan ini anak-anak kecil desa Solokuro pada berburu jangkrik di tegalan-tegalan. Jangkrik dengan tubuh yang besar dan berwarna hitam mengkilat biasanya yang dicari, karena memiliki suara ‘erikan’ yang merdu. Jika suda didapat, jangkrik-jangkrik ini akan ditenpatkan pada susunan bambu-bambu kecil yang lazim disebut ‘krangkeng’. Krangkeng yang berisi jangrik ini kemudian digantung di sudut-sudut ruangan, tidak lupa jangkrik diberi makanan kacang tanah dan ‘gebingan’. Dan suara jangkrik itu mengahantarkan anak-anak desa itu terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka jika malam tiba.
Hujan yang masih turun hingga beberapa hari tidak perna berhenti untuk memberikan manfaat bagi umat manusia, kali ini giliran jamur dan ‘gundik’. Jamur akan tumbuh diantara semak dan dibawah rimbun pepohonan. Terkadang juga disamping kiri dan kanan galengan. Ada beberapa jenis jamur yang memiliki cita rasa lezat. Pertama jamur Barat dan Jamur Glatik, kedua jamur ini berukuran besar. Jamur ini harus cepat diketemukan di pagi hari, sebab jika siang hari jamur akan membusuk dimakan ulat/set. Kedua adalah Jamur Menệr, jenis jamur ini bisa lebih tahan kapan saja dipetik. Jamur ini berwarna putih bersih namun berukuran sangat kecil, karena ukurannya ini jarang yang mau mengambil jamur menệr ini untuk dimakan.
Jamur diapakan saja pasti lezat, yang tidak sempat membawanya pulang untuk digoreng atau dipepes, dibakar di ladangpun sudah sangat lezat apalagi dibungkus dengan daun kunir yang menamba aroma panggangan jamur semakin sedap. Hmm….uenake cah…komentar para penikmat jamur tunon itu.
Satu lagi yang tidak boleh terlewat disaat musim hujan adalah ‘gundik’. Walaupun namanya berkonotasi negatif karena bisa diartikan dengan wanita simpanan, namun gundik ini sama sekali tidak ada kaitannya, justru ia merupakan raja yang dijaga oleh ribuan tentara. Ya, gundik merupakan sebutan bagi raja rayap ia memiliki kerajaan yang disebut ‘pundong’. Pundong ini akan semakin lama akan semakin membesar, karena terus dibangun oleh pasukan rayap. Tapi jika masih musim hujan pundong-pundong kecil banyak yang baru mulai dibangun sehingga dengan mudah untuk mendapatkan ‘gundik’
Pundong yang besar terdapat gundik yang besar pula, tetapi dibutuhkan tenaga ekstra untuk mendapatkannya. Bahkan kadang butuh 2-3 orang untuk menggalinya Tapi jika masih kecil, apalagi yang baru dibangun dan masih basah sangat muda untuk mendapatkan gundik bahkan dengan menendang gundukan pundong pun ‘gundik’ sudah didapatkan. Gundik yang sudah didapat kemudian dibakar…hmm dari aromanya sudah terbayang kelezatannya, bahkan yang masih mentah-pun gundik juga sangat lezat.
Musim hujan memang penuh berkah, keceriaan dan kebahagiaan. Saat angonan dulu, berburu laron, nggolek jamur dan ngeduk gundik merupakan kesenangan yang luar biasa. Sungguh kebahagiaan di masa kecil yang penuh dengan keceriaan. ..Eee...weduse wes nglirep.....muleh-muleh...!!!
1 komentar:
Crito luru walang gatelnya gmana bang?
Posting Komentar