Tentang Solokuro
Sampai era 80-an, Solokuro merupakan desa kecil yang masih menginduk pada kecamata Paciran. Desa Solokuro kala itu benar-benar sangat terpencil dan ‘terbelakang’, Jangankan listrik, lampu petromak-pun hanya dimiliki oleh beberpa orang saja. Akses menuju Solokuro dari arah Paciran harus dilalui dengan angkutan dengan tujuan akhir sampai desa Payaman saja, selebihnya menuju desa Solokuro harus dilanjutkan dengan jasa omprengan.
Sampai era 80-an, Solokuro merupakan desa kecil yang masih menginduk pada kecamata Paciran. Desa Solokuro kala itu benar-benar sangat terpencil dan ‘terbelakang’, Jangankan listrik, lampu petromak-pun hanya dimiliki oleh beberpa orang saja. Akses menuju Solokuro dari arah Paciran harus dilalui dengan angkutan dengan tujuan akhir sampai desa Payaman saja, selebihnya menuju desa Solokuro harus dilanjutkan dengan jasa omprengan.
Bicara mengenai jalan, jangan ditanya, kondisi jalan dari Paciran sampai Solokuro hanya mulus sampai desa Sendang, keluar dari desa Sendang apalagi di daerah Kimas batu-batu dengan ukuran besar ‘pating pedisil’ dan tercerabut dari struktur jalan, sehingga sangat susah untuk dilalui dan tentu saja ‘nggronjal-nggronjal’.
Itulah gambaran akses menuju desa Solokuro, bagai arena off road penuh perjuangan, ditambah letak yang ‘nyempil’, tidaklah mengherankan apabila Solokuro kurang familiar bahkan dilingkungan orang Paciran sekalipun, jika ditanya mengenai Desa Solokuro sebagian besar mengungkapkan ketidak tahuan-nya “Solokuro...? daerah endhi toh kuwi...?”.
Saking ‘teralienasi-nya’ dengan wilayah lain yang lebih maju, warga Solokuro kalau sudah pergi ke Paciran saja, rasa-rasanya sudah menyaksikan suasana kota yang begitu megah, dan sepulang dari Paciran segala cerita menarik pun dituturkan ke teman atau tetangga sekitar, apalagi anak-anak kecil dengan semangat akan menceritakan suasana Paciran dengan semangat. “Aku mau ero kol tlisir (sebutan tentang mobil sedan yang berbentuk kecil mungil), aku yo ero trek guwede, ono bis barang” ungkapan kekaguman akan mobil yang agak besar yang belum tentu sebuah bus. Ya, itulah kondisi masyarakat Solokuro beberapa tahun yang lalu yang begitu ‘terasing’ dari dunia luar.
Kondisi perumahan warga Solokuro juga belum sebanyak dan seluas sekarang. Deret perumahan warga desa membentang/memanjang dari ujung kulon ke ujung wetan. Mungkin berdasarkan landscape desa inilah, masyarakat Solokuro kemudian membagi dua kelompok besar dalam hal posisi (njar) yaitu njar kulon dan njar wetan. Seperti sekolah kulon itu artinya sekolah Muhammadiyah yang letaknya di kulon, madrasah wetan yang artinya adalah madrasah Ma’arif dan masih banyak lagi sebutan dengan menyebut dua mata angin tersebut sebagai kata penjelas seperti langgar kulon, langgar wetan, pasar kulon dan pasar wetan dsb. Garis pemisah antara njar kulon dan njar wetan adalah kali yang posisinya hampir persis di tengah-tengah desa.
Secara Posisi, paling ujung barat adalah gerdu kulon (posisinya antara rumah bapak Naji dan Dol Muttaqien), di sebelah timur mentok pada rumahnya saudara Irjik (yang sekarang ada bengkelnya). Sedangkan lebar desa Solokuro disebelah timur ditandai dengan adanya dua gerdu yaitu di belakang balai Desa (sebelah selatan jalan) dan di bagian utara di depan Loji (rumah dinas mantri perhutani) atau depannya madrasa wetan. Sedangkan di ujung kulon lebar desa ditandai dengan gardu kulon yang di antara rumah dul Muttaqin dan pak Naji sedangkan batas selatannya ada di baratnya rumah saudari Masula/mertuanya bapak Taufiq.
sebagai ilustrasi berikut adalah gambaran desa Solokuro sebelum pencaran.
Permuhan penduduk pun tidak jauh jaraknya dari gardu-gardu tersebut, di sebelah barat belum ada yang sampai mencar ke Sangan, sebelah timur-selatan dibelakang gerdu kidul wetan ada beberapa rumah yang keberadaannya memang sudah relatif lama, tetapi tidak sampai mentok barongan (pager dada), paling selatan adalah rumah keluarga bapak Taseman. Sedangkan di sebelah utara gerdu utara (belakangya loji) juga sudah ada beberapa rumah semisal rumahnya mas Anam bu Tamami, bapak Rozikin, dan rumah keluarga bapak Solata (bapak Solata ini entah sekarang berdomisili dimana ya?) dan sekitarnya. Lalu bagaimana posisi Mrican yang sekarang seolah menjadi kawasan satelit desa?
berikut adalah gambaran desa Solokuro sesudah pencaran
Desaku Riwayatmu Dulu
Mrican dulu sama seperti Sangan merupakan ladang atau tegalan, beluam ada rumah penduduk. Batas antara mrican dan desa penduduk masih barongan lebat yang disebut pager dada (sekarang posisinya di jalan baru selatan yang nembus madrasah kulon). Di selatan pager dada adalah ladang milik keluarga alm. H. Suwindi yang sekarang sudah penuh dengan beberapa rumah, diantara nya rumah keluarga pak guru Shodiq, bapak Sakur, dll. Di sebelah Selatan lagi merupakan ladang punya bapak-nya saudara Mat Tasim (posisi sekarang disekitaran rumah ibu Umiyah atau Mat Gufron), ke barat sedikit merupakan tegalan punya alm. Haji Nur dan Hj. Yatonah yang posisi sekarang ada di mushollah Mrican, bapak Marlan sampai rumah bapak Suraji dan sekitarnya. Di sebelah baratnya lagi merupakan ladang punya Bapak-nya bapak Carik (sekarang rumah nya siapa saja ya yang di sana?), ke barat lagi sampai agak ke utara dulu sebutannya adalah kebon salah satu pemiliknya adalah bapak Amin (ayahnya Suzari) yang sekarang sudah berdiri rumah ibu Senikah/wa’gus Ngaslim dan lain-lain.
Lalu sejak kapan Solokuro berkembangan sampai memiliki kawasan satelit (pencaran)seperti sekarang ? perlu diketahui kawasan pencaran itu ada 4 lokasi yaitu Mrican, Sangan, kawasan mbranak (blok kubur) dan ndandu sigar.
Dahulu wilayah Mrican sampai kebun jika musim kemarau tiba merupakan tempat favorit untuk ngunjukno layangan dan main perang-perangan dengan senjata bedil-bedilan. Mainan ini dibuat dari cabang bambu yang agak besar yang disebut pangpel. Sebagai pelurunya, bedil-bedilan memerlukan amunisi yaitu kembang klampok (memanfaatkan kembang klampok yang jatuh dari pohonnya), ada lagi pluru yang lebih praktis yaitu kertas yang direndam dalam air, walaupun pluru kertas ini kurang begitu favorit karena suara yang dihasilkan kurang begitu ‘menyelak’. Ada lagi peluru yang lebih dahsyat namun cara mendapatkannya lumayan susah yaitu buah mengkalot. Buah ini banyak terdapat di pagar-pagar tegalan yang berada di nDandu, Mabang ataupun nggunung. Pluru mengkalot jika sudah meletup sangat dahsyat dan kalau buat menembak juga sangat jitu sebanding dengan cara susah untuk mendapatkannya. (saya kurang tahu apa anak-anak Solokuro masih ada yang tahu tentang buah mengkalot ini? Semoga ada manfaat lain dari mengkalot agar dia tetap terjaga kelestariannya).
Sosok yang pertama kali mulai pencaran di Mrican adalah mbah Jab (ayahnya bapak Achmad Lazim Sekdes Solokuro, atau mbah-nya Vivi) dengan mendirikan kandang sapi. Lokasinya sekarang pas sebelah selatan rumah saudara Kholid. Kandang sapi itu sangat strategis karena dekat dengan jalanan, sehingga sering kali dijadikan tempat transit oleh bapak-bapak yang mau atau dari ngarit untuk jandonan. Apalagi di kandang mbah Jab itu juga disediakan fasilitas ungkal, sehingga semakin menambah daya tarik bapak-bapak yang mau ngarit untuk singgah, disamping ngasah arit juga sebagai arena untuk ngobrol-ngobrol.
Bagaimana dengan nDandu Sigar? Pencaran paling wetan dulu hanya sampai belakang madrasah wetan (rumahnya keluarga si kembar Rif’an dan Rifa’i, ibunya saudara Tarsono/mat Zainul dan wa’gus Shoqib) walaupun ada yang sudah sangat jauh letaknya yaitu rumah ibu Saiyem/Esla ibunya saudara Kacong yang berada disamping kali wetan selatan ngladak ndandu Sigar, hanya satu rumah itu yang posisinya paling jauh.
Berbarengan dengan geliat warga untuk mencar, Awal 80-an, beberapa warga Solokuro mencoba untuk menggapai keberuntungan dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri, tujuan mereka adalah negeri jiran Malaysia dan sebagian ke Besuki. Siapa saja yang mulai berangkat ke Malaysia? Yang ada dalam ingatan penulis yang memulai menjadi generasi pertama merantau ke Malaysia adalah Bapak Iskhak (mertuanya saudara Muslik), Ibu Nafsakhah (adiknya bapak Sampurno) beserta suami pertamanya Bapak Muhson, Bapak Kuri dan Bapak Mudzakir (pamannya Pak Guru Ali Mahfud). Mereka-lah generasi awal yang memulai petualangan ke Malaysia di awal tahun 80-an. Sedangkan yang merantau ke Besuki juga sangat banyak, walaupun lambat laun jumlahnya mulai berkurang.
Bebera tahun berikutnya, para generasi pertama itu pulang ataupun berkirim khabar. Ya, mungkin salah satu berita yang disampaikan adalah ketersediaan lapangan kerja di Malaysia yang luar biasa besar. Oleh karena itumenjadi daya tarik sebagian besar warga terutama generasi muda untuk berangkat ke Malaysia.
Ketertarikan warga untuk pergu ke Malaysia disamping adanya lapangan kerja, juga adanya dorongan untuk maju. Sebagai petani, penghasilan sawah dan ladang dinilai sudah tidak signifikan lagi untuk menunjang kehidupan yang semakin dinamis. Semakin hari-semakin banyak warga yang pergi merantau ke Malaysia dan monco ke Besuki.
Gerakan ke Malaysia dan Besuki ini berdampak luar biasa bagi kehidupan masyarakat Solokuro dari segi ekonomi. Awalnya hasil merantau itu untuk memenuhi beberapa perabot atau kebutuhan setiap hari-hari yang selama ini memang sangat kurang. Sebagai contoh bisa dibayangkan, pesawat televisi (TV) waktu itu hanya ada di Loji (rumah dinas mantri hutan) saja. Lambat laun (dalam jangka waktu yang sangat lama) baru bertambah satu demi satu seperti pak Solkan/Dol Kholiq, alm. Hj. Sumi’ah, pak Ali dan sebagainya, tentu tidak ketinggalan hasil dari Malaysia yaitu Bapak Kuri.
Ada cerita seru ketika masyarakat menyaksikan TV punya bapak Kuri, TV beliau dilengkapi filter yang berwarna biru didepan layarnya sehingga umum seisi kampung kalau bapak Kuri punya TV berwarna. Rejo-nya lagi bapak Kuri kalau lagi nyetel TV, TV-nya dikeluarkan dari rumah sehingga masyarakat tumpah ruah dijalanan untuk menyaksikan siaran TVRI (satu-satunya stasiun televisi pada saat itu) dengan gembira.
Bulan berganti tahun, seiring berjalannya waktu semakin banyak warga yang memiliki TV, bahkan dengan hadirnya listrik bertenaga diesel masyarakat mulai mengganti TV-TV mereka dengan TV berwarna walaupun hanya mampu dinikmati sampai jam 11 malam karena diesel akan dimatikan pada jam tersebut.
TV, tape dan beberpa perabot modern sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bagi warga Solokuro, dan ternyata tidak berhenti sampai disitu masyarakat Solokuro yang selama ini kesulitan dalam hal transportasi menjadikan motor sebagai barang yang kudu dimiliki.
Motor atau orang Solokuro menyebutnya honda dahulu mungkin hanya ada dalam angan-angan, karena barang ini relatif sangat mahal. Tidak heran motor hanya dimiliki oleh beberapa orang saja, sepengetahuan penulis yang memiliki sepeda motor adalah bapak Ponadi (bapaknya saudara Miptakul suami bu bidan Ertin atau Hendri), bapak Ngaji’un, pak Ali kemudian menyusul bapak Aluwan, bapak Umbar, bapak Sonhaji (sekarang berdomisili di Surabaya), bapak Mat Solani dan lain sebagainya.
Bahkan beberapa motor model baru-pun mulai ada di Solokuro, teringat ketika bapak Mukin membeli sepeda motor baru merk Honda Super Cup75. Motor ini begitu bagus dan masih baru ‘gres ewes-ewes’ serta banyinya sangat halus nyaris tidak terdengar sehingga terkenal dengan honda gak ono unine.
Majunya tingkat ekonomi warga juga berdampak signifikan bagi kemajuan pendidikan. Era 80-an kendala untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah karena keterbatasan biaya. Walaupun penting untuk dicatat, bahwa warga Solokuro walaupun sebagian besar berprofesi sebagai petani, sepengetahuan penulis kesadaran warga akan pendidikan sangat tinggi. Ini bisa dibuktikan, betapa anak-anak muda itu walaupun pagi harinya harus kerja keras di sawah atau ladang, ngarit dsb, tapi siang harinya dengan sepeda ontel mereka tetap bersemangat untuk bersekolah yang letaknya rata-rata di luar desa. Spirit ini yang harus kita jaga, sungguh luar biasa.
Dukungan ekonomi yang semakin baik seolah menghempaskan segala penghalang anak-anak muda Solokuro untuk tetap terus maju dan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan selepas madrasah tingkat dasar, umumnya anak-anak Solokuro sangat bersemangat untuk melanjutkan ke pondok pesantren. Dan sampai hari ini dampak ekonomi yang membaik juga dibarengi dengan tingkat pendidikan yang lebih baik pula. Intinya saling mendukung, ada yang bapaknya atau orang tuanya pergi ke Malaysia sang anak melanjutkan belajarnya di rumah atau pondok pesantren, ada kalanya juga sang kakak yang berangkat ke Malaysia sang adik yang meneruskan pendidikannya di rumah Indonesia.
karenanya harus diakui jasa para pelancong atau orang-orang yang dengan gagah berani mengubah kehidupan Solokuro patut diakui sebagai tonggak perubahan sejarah Solokuro. Walaupun perlu diingat bahwa dengan semakin majunya desa kita tercinta tidak kemudian menjadikan kita masyarakat Solokuro mengalami culture Shock yang mengakibatkan kita berprilakuku hedonist.
kita tetaplah masyarakat Solokuro yang memiliki budaya dan prilaku yang baik serta memiliki kerukunan yang patut dibanggakan, membaiknya kehidupan ekonomi semoga tidak menjadikan kita tercerabut dari nilai-nilai luhur agama dan budaya masyarakat Solokuro. semoga
Itulah gambaran akses menuju desa Solokuro, bagai arena off road penuh perjuangan, ditambah letak yang ‘nyempil’, tidaklah mengherankan apabila Solokuro kurang familiar bahkan dilingkungan orang Paciran sekalipun, jika ditanya mengenai Desa Solokuro sebagian besar mengungkapkan ketidak tahuan-nya “Solokuro...? daerah endhi toh kuwi...?”.
Saking ‘teralienasi-nya’ dengan wilayah lain yang lebih maju, warga Solokuro kalau sudah pergi ke Paciran saja, rasa-rasanya sudah menyaksikan suasana kota yang begitu megah, dan sepulang dari Paciran segala cerita menarik pun dituturkan ke teman atau tetangga sekitar, apalagi anak-anak kecil dengan semangat akan menceritakan suasana Paciran dengan semangat. “Aku mau ero kol tlisir (sebutan tentang mobil sedan yang berbentuk kecil mungil), aku yo ero trek guwede, ono bis barang” ungkapan kekaguman akan mobil yang agak besar yang belum tentu sebuah bus. Ya, itulah kondisi masyarakat Solokuro beberapa tahun yang lalu yang begitu ‘terasing’ dari dunia luar.
Kondisi perumahan warga Solokuro juga belum sebanyak dan seluas sekarang. Deret perumahan warga desa membentang/memanjang dari ujung kulon ke ujung wetan. Mungkin berdasarkan landscape desa inilah, masyarakat Solokuro kemudian membagi dua kelompok besar dalam hal posisi (njar) yaitu njar kulon dan njar wetan. Seperti sekolah kulon itu artinya sekolah Muhammadiyah yang letaknya di kulon, madrasah wetan yang artinya adalah madrasah Ma’arif dan masih banyak lagi sebutan dengan menyebut dua mata angin tersebut sebagai kata penjelas seperti langgar kulon, langgar wetan, pasar kulon dan pasar wetan dsb. Garis pemisah antara njar kulon dan njar wetan adalah kali yang posisinya hampir persis di tengah-tengah desa.
Secara Posisi, paling ujung barat adalah gerdu kulon (posisinya antara rumah bapak Naji dan Dol Muttaqien), di sebelah timur mentok pada rumahnya saudara Irjik (yang sekarang ada bengkelnya). Sedangkan lebar desa Solokuro disebelah timur ditandai dengan adanya dua gerdu yaitu di belakang balai Desa (sebelah selatan jalan) dan di bagian utara di depan Loji (rumah dinas mantri perhutani) atau depannya madrasa wetan. Sedangkan di ujung kulon lebar desa ditandai dengan gardu kulon yang di antara rumah dul Muttaqin dan pak Naji sedangkan batas selatannya ada di baratnya rumah saudari Masula/mertuanya bapak Taufiq.
sebagai ilustrasi berikut adalah gambaran desa Solokuro sebelum pencaran.
Permuhan penduduk pun tidak jauh jaraknya dari gardu-gardu tersebut, di sebelah barat belum ada yang sampai mencar ke Sangan, sebelah timur-selatan dibelakang gerdu kidul wetan ada beberapa rumah yang keberadaannya memang sudah relatif lama, tetapi tidak sampai mentok barongan (pager dada), paling selatan adalah rumah keluarga bapak Taseman. Sedangkan di sebelah utara gerdu utara (belakangya loji) juga sudah ada beberapa rumah semisal rumahnya mas Anam bu Tamami, bapak Rozikin, dan rumah keluarga bapak Solata (bapak Solata ini entah sekarang berdomisili dimana ya?) dan sekitarnya. Lalu bagaimana posisi Mrican yang sekarang seolah menjadi kawasan satelit desa?
berikut adalah gambaran desa Solokuro sesudah pencaran
Desaku Riwayatmu Dulu
Mrican dulu sama seperti Sangan merupakan ladang atau tegalan, beluam ada rumah penduduk. Batas antara mrican dan desa penduduk masih barongan lebat yang disebut pager dada (sekarang posisinya di jalan baru selatan yang nembus madrasah kulon). Di selatan pager dada adalah ladang milik keluarga alm. H. Suwindi yang sekarang sudah penuh dengan beberapa rumah, diantara nya rumah keluarga pak guru Shodiq, bapak Sakur, dll. Di sebelah Selatan lagi merupakan ladang punya bapak-nya saudara Mat Tasim (posisi sekarang disekitaran rumah ibu Umiyah atau Mat Gufron), ke barat sedikit merupakan tegalan punya alm. Haji Nur dan Hj. Yatonah yang posisi sekarang ada di mushollah Mrican, bapak Marlan sampai rumah bapak Suraji dan sekitarnya. Di sebelah baratnya lagi merupakan ladang punya Bapak-nya bapak Carik (sekarang rumah nya siapa saja ya yang di sana?), ke barat lagi sampai agak ke utara dulu sebutannya adalah kebon salah satu pemiliknya adalah bapak Amin (ayahnya Suzari) yang sekarang sudah berdiri rumah ibu Senikah/wa’gus Ngaslim dan lain-lain.
Lalu sejak kapan Solokuro berkembangan sampai memiliki kawasan satelit (pencaran)seperti sekarang ? perlu diketahui kawasan pencaran itu ada 4 lokasi yaitu Mrican, Sangan, kawasan mbranak (blok kubur) dan ndandu sigar.
Dahulu wilayah Mrican sampai kebun jika musim kemarau tiba merupakan tempat favorit untuk ngunjukno layangan dan main perang-perangan dengan senjata bedil-bedilan. Mainan ini dibuat dari cabang bambu yang agak besar yang disebut pangpel. Sebagai pelurunya, bedil-bedilan memerlukan amunisi yaitu kembang klampok (memanfaatkan kembang klampok yang jatuh dari pohonnya), ada lagi pluru yang lebih praktis yaitu kertas yang direndam dalam air, walaupun pluru kertas ini kurang begitu favorit karena suara yang dihasilkan kurang begitu ‘menyelak’. Ada lagi peluru yang lebih dahsyat namun cara mendapatkannya lumayan susah yaitu buah mengkalot. Buah ini banyak terdapat di pagar-pagar tegalan yang berada di nDandu, Mabang ataupun nggunung. Pluru mengkalot jika sudah meletup sangat dahsyat dan kalau buat menembak juga sangat jitu sebanding dengan cara susah untuk mendapatkannya. (saya kurang tahu apa anak-anak Solokuro masih ada yang tahu tentang buah mengkalot ini? Semoga ada manfaat lain dari mengkalot agar dia tetap terjaga kelestariannya).
Sosok yang pertama kali mulai pencaran di Mrican adalah mbah Jab (ayahnya bapak Achmad Lazim Sekdes Solokuro, atau mbah-nya Vivi) dengan mendirikan kandang sapi. Lokasinya sekarang pas sebelah selatan rumah saudara Kholid. Kandang sapi itu sangat strategis karena dekat dengan jalanan, sehingga sering kali dijadikan tempat transit oleh bapak-bapak yang mau atau dari ngarit untuk jandonan. Apalagi di kandang mbah Jab itu juga disediakan fasilitas ungkal, sehingga semakin menambah daya tarik bapak-bapak yang mau ngarit untuk singgah, disamping ngasah arit juga sebagai arena untuk ngobrol-ngobrol.
Bagaimana dengan nDandu Sigar? Pencaran paling wetan dulu hanya sampai belakang madrasah wetan (rumahnya keluarga si kembar Rif’an dan Rifa’i, ibunya saudara Tarsono/mat Zainul dan wa’gus Shoqib) walaupun ada yang sudah sangat jauh letaknya yaitu rumah ibu Saiyem/Esla ibunya saudara Kacong yang berada disamping kali wetan selatan ngladak ndandu Sigar, hanya satu rumah itu yang posisinya paling jauh.
Berbarengan dengan geliat warga untuk mencar, Awal 80-an, beberapa warga Solokuro mencoba untuk menggapai keberuntungan dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri, tujuan mereka adalah negeri jiran Malaysia dan sebagian ke Besuki. Siapa saja yang mulai berangkat ke Malaysia? Yang ada dalam ingatan penulis yang memulai menjadi generasi pertama merantau ke Malaysia adalah Bapak Iskhak (mertuanya saudara Muslik), Ibu Nafsakhah (adiknya bapak Sampurno) beserta suami pertamanya Bapak Muhson, Bapak Kuri dan Bapak Mudzakir (pamannya Pak Guru Ali Mahfud). Mereka-lah generasi awal yang memulai petualangan ke Malaysia di awal tahun 80-an. Sedangkan yang merantau ke Besuki juga sangat banyak, walaupun lambat laun jumlahnya mulai berkurang.
Bebera tahun berikutnya, para generasi pertama itu pulang ataupun berkirim khabar. Ya, mungkin salah satu berita yang disampaikan adalah ketersediaan lapangan kerja di Malaysia yang luar biasa besar. Oleh karena itumenjadi daya tarik sebagian besar warga terutama generasi muda untuk berangkat ke Malaysia.
Ketertarikan warga untuk pergu ke Malaysia disamping adanya lapangan kerja, juga adanya dorongan untuk maju. Sebagai petani, penghasilan sawah dan ladang dinilai sudah tidak signifikan lagi untuk menunjang kehidupan yang semakin dinamis. Semakin hari-semakin banyak warga yang pergi merantau ke Malaysia dan monco ke Besuki.
Gerakan ke Malaysia dan Besuki ini berdampak luar biasa bagi kehidupan masyarakat Solokuro dari segi ekonomi. Awalnya hasil merantau itu untuk memenuhi beberapa perabot atau kebutuhan setiap hari-hari yang selama ini memang sangat kurang. Sebagai contoh bisa dibayangkan, pesawat televisi (TV) waktu itu hanya ada di Loji (rumah dinas mantri hutan) saja. Lambat laun (dalam jangka waktu yang sangat lama) baru bertambah satu demi satu seperti pak Solkan/Dol Kholiq, alm. Hj. Sumi’ah, pak Ali dan sebagainya, tentu tidak ketinggalan hasil dari Malaysia yaitu Bapak Kuri.
Ada cerita seru ketika masyarakat menyaksikan TV punya bapak Kuri, TV beliau dilengkapi filter yang berwarna biru didepan layarnya sehingga umum seisi kampung kalau bapak Kuri punya TV berwarna. Rejo-nya lagi bapak Kuri kalau lagi nyetel TV, TV-nya dikeluarkan dari rumah sehingga masyarakat tumpah ruah dijalanan untuk menyaksikan siaran TVRI (satu-satunya stasiun televisi pada saat itu) dengan gembira.
Bulan berganti tahun, seiring berjalannya waktu semakin banyak warga yang memiliki TV, bahkan dengan hadirnya listrik bertenaga diesel masyarakat mulai mengganti TV-TV mereka dengan TV berwarna walaupun hanya mampu dinikmati sampai jam 11 malam karena diesel akan dimatikan pada jam tersebut.
TV, tape dan beberpa perabot modern sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bagi warga Solokuro, dan ternyata tidak berhenti sampai disitu masyarakat Solokuro yang selama ini kesulitan dalam hal transportasi menjadikan motor sebagai barang yang kudu dimiliki.
Motor atau orang Solokuro menyebutnya honda dahulu mungkin hanya ada dalam angan-angan, karena barang ini relatif sangat mahal. Tidak heran motor hanya dimiliki oleh beberapa orang saja, sepengetahuan penulis yang memiliki sepeda motor adalah bapak Ponadi (bapaknya saudara Miptakul suami bu bidan Ertin atau Hendri), bapak Ngaji’un, pak Ali kemudian menyusul bapak Aluwan, bapak Umbar, bapak Sonhaji (sekarang berdomisili di Surabaya), bapak Mat Solani dan lain sebagainya.
Bahkan beberapa motor model baru-pun mulai ada di Solokuro, teringat ketika bapak Mukin membeli sepeda motor baru merk Honda Super Cup75. Motor ini begitu bagus dan masih baru ‘gres ewes-ewes’ serta banyinya sangat halus nyaris tidak terdengar sehingga terkenal dengan honda gak ono unine.
Majunya tingkat ekonomi warga juga berdampak signifikan bagi kemajuan pendidikan. Era 80-an kendala untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah karena keterbatasan biaya. Walaupun penting untuk dicatat, bahwa warga Solokuro walaupun sebagian besar berprofesi sebagai petani, sepengetahuan penulis kesadaran warga akan pendidikan sangat tinggi. Ini bisa dibuktikan, betapa anak-anak muda itu walaupun pagi harinya harus kerja keras di sawah atau ladang, ngarit dsb, tapi siang harinya dengan sepeda ontel mereka tetap bersemangat untuk bersekolah yang letaknya rata-rata di luar desa. Spirit ini yang harus kita jaga, sungguh luar biasa.
Dukungan ekonomi yang semakin baik seolah menghempaskan segala penghalang anak-anak muda Solokuro untuk tetap terus maju dan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan selepas madrasah tingkat dasar, umumnya anak-anak Solokuro sangat bersemangat untuk melanjutkan ke pondok pesantren. Dan sampai hari ini dampak ekonomi yang membaik juga dibarengi dengan tingkat pendidikan yang lebih baik pula. Intinya saling mendukung, ada yang bapaknya atau orang tuanya pergi ke Malaysia sang anak melanjutkan belajarnya di rumah atau pondok pesantren, ada kalanya juga sang kakak yang berangkat ke Malaysia sang adik yang meneruskan pendidikannya di rumah Indonesia.
karenanya harus diakui jasa para pelancong atau orang-orang yang dengan gagah berani mengubah kehidupan Solokuro patut diakui sebagai tonggak perubahan sejarah Solokuro. Walaupun perlu diingat bahwa dengan semakin majunya desa kita tercinta tidak kemudian menjadikan kita masyarakat Solokuro mengalami culture Shock yang mengakibatkan kita berprilakuku hedonist.
kita tetaplah masyarakat Solokuro yang memiliki budaya dan prilaku yang baik serta memiliki kerukunan yang patut dibanggakan, membaiknya kehidupan ekonomi semoga tidak menjadikan kita tercerabut dari nilai-nilai luhur agama dan budaya masyarakat Solokuro. semoga
2 komentar:
weleh.. keren,detail sampe sak jeneng jenenge pisan.
wah,,,, mantab,,,
q aja yg uda 21 tahun g' kenal tu ma orang" yg di sebut,,,
semoga solokuro tambah maju ya,,,
salut buat generasi muda sekarang,,
tetap semangat membangun insan budiman untuk kejayaan desa solokuro,,
selamat berjuang, beramal, dan bertaqwa,, para generasi desa solokuro tercinta,,,
Posting Komentar