Bocah Angon-(an) dari Solokuro
Gemuruh suara riang
anak-anak menggema dari sebuah mushollah, malam itu mereka telah selesai
mengaji yang dibimbing oleh guru ngaji. Saling bersenda gurau, anak-anak itupun
meninggalkan mushollah dan secara berkelompok berpencar. Ada dua kelompok dari
anak-anak kecil itu, kelompok pertama menuju arah timur dan yang kedua berjalan
ke arah barat. Ya, mereka berjalan menurut kelompoknya untuk melakukan kegiatan
berikutnya, yaitu belajar. Belajar kelompok ini didasarkan atas kedekatan rumah
masing-masing, yang mengarah ke arah timur lazim mereka sebut njar wetan, dan yang menuju arah barat
adalah kelompok njar kulon. Mereka
belajar berkelompok untuk persiapan pelajaran sekolah di esok hari.
satu orang membaca, yang
lainnya menyimak dan memperhatikan dengan seksama. Maklum kadangkala tiap
kelompok yang terdiri atas 4-5 orang itu tidak semuanya memiliki buku bacaan,
bisa jadi dari kelompok tersebut hanya hanya memiliki masing-masing satu buku
jenis pelajaran yang dimiliki. Oleh karenanya, membaca dan menyimak merupakan
cara untuk mendapatkan ilmu bersama dengan sumber yang minim itu.
Tidak lama mereka
belajar, disaat kumandang adzan isya’ mereka-pun bergegas menuju ke rumah
masing-masing. Tetapi pulang ke rumah pun bisa batal apabila kondisi cuaca
meungkinkan untuk bermain. Yang artinya bulan bersinar dengan terangnya. Dengan
kondisi sinar bulan yang terang itu anak-anak akan langsung menikmati bulan
purnama dengan aneka permainan tradisional. Ada beberapa permainan menarik jika
dilakukan dimalam bulan purnama, diantaranya adalah ndheman yaitu jenis permainan dengan cara mengumpet dan satu orang
sebagai si masang (sebutan untuk yang
giliran jaga) untuk menemukan teman lain yang mengumpet. Di permainan ini ada
cara unik untuk mengindari temuan dari si masang,
yaitu dengan cara masuk bergerombol dalam satu sarung bersama-sama yang
terdiri atas 2, 3 sampai 4 orang kemudian sarung itu ditutup rapat-rapat.
Dengan cara ini, walaupun si masang
dapat dengan mudah menemukan posisi mereka tapi akan kesulitan menebak salah
satu dari mereka. Penebakan dilakukan dengan cara merabah, dan apabilah salah
menebak, maka mereka akan berteriak dari sarung dengan teriakan..”salah paham....” dan si masang pun harus mengulangi lagi sebagai
pemasang.
Jenis permainan lain
yang sering kali dimainkan anak-anak itu adalah pol-polan dan slodoran.
Permainan pol-polan hampir mirip
dengan ndeman, hanya saja penentuan untuk menjadi masang harus ditentukan dengan cara melempar tumpukan kreweng dari jarak tertentu. jika si
pelempar jitu maka giliran orang setelkahnyalah yang menjadi masang. Permainan ini juga mengandalkan
kecekatan, jika si masang lengah tumpukan kreweng yang dilangkahi itu akan menjadi sasaran tendangan, dan itu artinya masang gagal dan mengulanginya menjadi masang. Yang unik si masang harus menjaga tumpukan kreweng
itu dengan carfa melangkahi. Jika tumpukan kreweng itu ditinggal untuk mencari
yang sengedan maka kreweng itu menjadi sasaran si sengedan dan biasanya si masang berusaha
untuk melangkahi tumpukan kreweng itu.
Sedangkan slodoran adalah jenis permainan
ketangkasan, pertama anak-anak itu akan membuat garis dengan ukuran kotak-kotak
sekitar 1-2 meter persegi. Merke terbagi menjadi dua grup yang biasanya
ditentukan oleh kedekatan pertemanan mereka. Setelah terbentuk grup, mereka
melakukan sut untuk menentukan siapa
yang jaga dan siapa yang menjadi yang ditangkap. Permainan ini dimulai dengan
ditandai oleh isyarat dari penjaga garis tengah dengan ucapan...”tiiiiiitttttttttttttttttttt....” dan
mulailah permainan ketangkasan itu dimulai. Kelompok yang akan ditangkap bisa
dikatakan menang apabilah salah satu dari mereka dapat menyelesaikan finish ke
belakang dan balik lagi ke depan, jika itu terjadi merkeka akan melakukan teriakan
“kajiiiiiii................”
Malam pun semakin larut,
dan terkadang anak-anak itu terlalu asyik bermain samapi kadang orang tua
mereka menyusul ke tempat permainan mereka, “he...wes bengi, nang muleh....” panggil para orang tua itu.
Keesokan harinya,
mentari bersinar di desa yang damai itu. Anak-anak itupu bergegas melakukan
sholat subuh, biasanya agak siang karena mungkin saking asyiknya bermain di
malam hari. Kalupun subuh mereka sudah bangun, mereka menyempatkan untuk
kembali membaca buku-buku pelajaran. Membaca buku di pagi buta menurut kabar
yang berkembang di desa mereka bahwa membaca di pagi hari itu bisa cepet ‘nyentel’. Setelah itu baru mereka menuju
kolam pemandian besar di depan masjid. Memang anak-anak itu tidak pernah habis
keceriaannya, di kolam itu mereka tidak hanya mandi, tapi juga ‘kebyuran’, obyok-obyokan, dan yang paling sering tentu adalah balapan nglangi. Lagi-lagi mereka sampai
lupa waktu, kadang mereka nunggu disentak
dulu oleh para orang-orang dewasa yang sedang mandi baru anak-anak itu akan mentas dengan mata memerah karena
kelamaan kebyuran.
Pulang dari sendang,
anak-anak itu kemudian mempersiapkan diri untuk sekolah. Di madrasah mereka
lebih kental dengan berbagai pelajaran agama. Seperti Qur’-an dan Hadist, Fiqh,
Nahwu dan Sharaf. Jam pelajaran dimulai pukul 7 pagi dan istirahat jam 9. Pada
jam istirahat ini mereka balik lagi ke rumah untuk makan. Walaupun pagi harinya
sudah sarapan tapi jam istirahat bisa dipastikan mereka akan pulang untuk
makan. Ini dilakukan karena umumnya mereka tidak dibekali uang untuk jajan, toh
kalaupun jajan paling yang di beli adalah krupuk dan es potong, mentok-mentok
ya hingkuwi. Di rumah jam 9an itu
terasa sepi, karena para orang tua sudah pada berangkat ke sawah masing-masing.
Rutinitas ke sawah para orang tua dilaksanakan pada pagi hari, ramai sekalai
para orang tua itu menuju ke arah timur dimana segian besar posisi sawah mereka
yang disebelah timur desa. Para bapak menuntun sapi dan mikul keranjang atau krakal dan singkal jika musim ngrakal tiba. Dan para ibu menggendong bekal
makanan di sawah nanti.
Kenyang makan jam
istirahat, anak-anak itu kembali lagi ke madrasah, biasanya madrasah buyar jam 11 sampai jam 11.30. Setelah buyar sekolah, anak-anak itu kembali
menuju sendang, mandi kebyuran. Tapi
kali ini tidak begitu lama, mereka lalu menuju masjid untuk sholat dluhur dan
bergegas pulang. Kenapa begitu singkat mereka mandi kebyuran..??? tidak lain karena mereka telah memiliki tanggung
jawab terhadap kambing-kambing mereka. Ya, selepas sekolah, anak-anak itu akan
segera menggembalakan kambing-kambing mereka ke hutan jati di sebelah timur
desa mereka. Angon kambing ini
dilakukan secara berkelompok, biasanya didasarkan atas kedekatan rumah atau
juga berdasarkan kecocokan akan pergaulan mereka.
Beberapa area yang biasa
menjadi tujuan mereka angon diantaranya mulai dari tempat paling dekat, yaitu Gunung jodo, cemplongan, lore klongkrong,
sambi loro, kali buntung, dan jarang
ke daerah mboro, asem manak dan asem
joget. Tempat-tempat terakhir ini cenderung jauh dan dikenal angker
sehingga jarang sekali anak-anak desa itu angon
ke sana. Disamping angon, anak-anak
itu juga tidak lepas melakukan bakti mereka pada orang tua, dengan cara
mengumpulkan kayu bakar di hutan. Umumnya kayu bakar ini merupakan tumbuhan
semak yang jumlahnya melimpah, seperti
jiring abang dan sesekali putri.
Jiring abang lebih sering jadi pilihan karena bentuknya yg lurus-lurus sehingga
mudah bawanya, lain halnya dengan putri yang cenderung beranting-ranting.
Sejatinya jiring dan
putri bukan kayu bakar terbaik, karena tumbuhan semak ini sangat cepat habis
jika dipakai memasak. Tentu akan berbeda dengan kayu jati ataupun akasia yang
lebih awet untuk memasak. Tetapi, anak-anak itu seringkali tidak berani untuk
mengambil cabang kayu jati dan akasia karena takut pada mandor jaten yang
sering kali patroli sekitar hutan. Walaupun kalo dipikir-pikir sebenarnya
pemangkasan cabang pada kayu akan mengakibatkan kayu jati lebih cepat tumbuh
dan bentuknya lurus, tetapi adpa daya ketakutan pada mandor jaten membuat
anak-anak itu tidak berani untuk mengambil pang-pang kayu jati terkecuali yang
telah menjadi tinggar.
Diselah-selah aktivitas
angon itu, keriangan anak-anak desa itu tidak pernah surut sedikitpun baik di
kala cuaca cerah ataupun hujan. Berbagai permainan mereka lakukan, lebih seruh
lagi apabila hujan turun dengan derasnya. Aliran air yang deras akan
dimanfaatkan jadi bendungan dan dibuatlah kincir air yang bisa memutar. Hujan
juga dimanfaatkan untuk main perang-perangan, gulat dan lain sebagainya. Saking
asyiknya kadang kambing-kambing mereka sudah meninggalkan mereka cukup jauh,
kalau sudah begini anak-anak itu baru kesulitan mencari kambing-kambing mereka.
Jika beruntung, mereka dapat
dengan cepat menemukan kambing-kambing mereka. Tetapi apabila jejak kambing itu
berjalan begitu jauh maka anak-anak itu akan berpencar ke berbagai arah. Dalam
mencari kambing-kambing mereka, anak-anak itu melakukannya dengan cara menggrong (memanjat pohon dengan ukuran
yang sangat tinggi). Begitulah usaha mereka untuk mendapatkan kambing-kambing
mereka kembali, sambil sesekali berteriak dan memberi aba-aba kepada kawannya
yang juga menggrong.. Hoiii....., ono gak......? ora ono.....sahut yang satu dari arah
yang lain. Dan kalao kambing-kambing itu sudah diketemukan salah satu dari
mereka dengan gembira mengambarkan kepada kawan-kawannya.....hoiii.....nek kene.....ndek endi.......?
wetane akasia doyong (sahut si
pemberi informasi merujuk pada nama tempat dimana ada pohon akasia yang tumbuh
doyong).
Mentari sudah condong ke
barat dan memancarkan kilauan lembayung yang memerah, anak-anak desa itupun
segera nglirip, istilah untuk
mengarahkan kambing-kambing itu ke arah pulang. Dasar anak-anak, diwaktu pulang
angon-pun keceriaan tetap menjadi bagian yang tidak lepas dari mereka. Umumnya
mereka melakukan balapan kambing, kali ini yang jadi korban adalah anak kambing
yang masih lincah. Mereka akan menahannya supaya tertinggal dari gerombolan
kambing yang berjalan ke arah pulang. Setelah beberapa meter anak kambing yang
terus mengembek-embek itupun dilepas.
Karena ingin segera dekat sama induknya maka anak kambing itu akan berlari
sekencang-kencangnya.
Selesai menggembalakan
kambing-kambingnya, anak-anak desa itu kembali ke sendang ituk mandi. Sama
dengan mandi siang, mandi sore ini juga dilakukan dengan agak singkat,
mengingat waktu asar yang semakin mepet. Selepas mandi mereka menuju masjid dan
melaksanakan sholat asar. Waktu yang pendek itu membuat merek sholat denga balapan (jundal-jundil). Setelah itu
mereka beranjak pulang dan segera mempersiapkan diri ke mushollah-mushollah
terdekat untuk sholat magrib dan mengaji.
MUSIM LIBURAN
(PREINAN)
Jum’at merupakan hari
yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak desa itu, sebab libur sekolah adalah hari
jum’at bukan hari minggu sebagaimana yang terjadi pada umumnya. Bahkan
anak-anak desa itupun gak pernah tahu kalau sebenarnya dino ahad adalah hari libur yang berlaku nasional, bahkan
internasional.
Jika jum’at tiba mereka punya
waktu banyak untuk bermain. Pagi hari kadang mereka ikut ke sawah membantu pak
dan mbok mereka. Tapi tidak jarang, mereka mengagendakan sesuatu bersama
teman-temannya. Mancing welot mungkin
salah satunya, dengan menyusuri kali mereka mengendap-endap mencari
lubang-lubang welut untuk di kileni pake pancing. Kadang ada yang nyeser iwak wader atau mujair. Ada juga
diantara mereka yang bergerilya ke sawah-sawah (ladang) dengan menteng ketepal
untuk nyetip manuk. Mereka umunya
melakukannya hanya pagi sampai menjelang siang, begitu penetek merekapun akan segera pulang dengan membawa hasil buruan
masing-masing. Setelah jum’atan aktivitas angon
pun tetap berjalan.
Aktiviatas yang sama
juga dilakukan jika libur ujian tiba. Mereka akan dengan leluasa menikmati
liburan itu dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan. Sedikit berbeda ketika
libur puasa ramadhan, bulan ramadhan selama satu bulan full sekolah memang
libur (gak tahu kalo sekarang), biasanya diisi dengan kegiatan ramadhan di
sekolah di akhir bulan puasa. Tetapi sebelum kegiatan resmi sekolah itu,
anak-anak desa mengisi waktu libur dengan berbagai kegiatan yang sedikit berbau
materi. Entah kenapa sering kali di waktu ramadhan tiba, kebetulan jenis
tanaman yang sering ditanam oleh para warga solokuro adalah kedel. Walaupun jenis tanaman ini
membutuhkan tenaga ekstra dalam mengelolah, apalagi di saat puasa. Luar biasa
memang perjuangan bapak dan ibu Solokuro, pekerja keras dan tekun beribadah.
Kedel yang telah di erit dibawah
pulang dengan cara dipikul atau digendong. Nyampek dirumah, kedel itu di jemur di halaman rumah dan
dijalanan. Biji kedel memang cukup keras jadi tidak masalah bila dijemur
dijalanan, bahkan para Bapak dan Ibu itu akan seneng kalo kedelitu terinjak, atau terlindas motor, sepeda lebih-lebih
glindeng (dengan catatan sapine gak nletong) karena akan membantu merontokkan
biji kedel tersebut. Perontokan biji kedel dilakukan dengan cara di geblek.
Geblek biasanya terbuat dari kayu yang tidak terlalu berat juga tidak terlalu ringan,
yang umum dijadikan geblek adalah pelepah kelapa bentuknya yang pipih
menjadikan biji kedel lebih cepat rontok jika sudah kenapukulan tangan-tangan
perkasa Bapak-bapak dan Ibu-ibu itu. Setelah selesai digeblek, dadok (pohon
kedel yang sudah tidak berbiji) di singkirkan. Biasanya dadok ini dijadikan
sebagai makanan sapi, terutama dimusim kemarau manakalah suket sudah jarang
ditemui. Karena untuk cadangan makanan sapi, dadok biasanya ditempatkan diatas
kandang (empon-empon). Kondisinya yang kering, dadok (dan juga damen) tidak
jarang menjadi penyebab terjadinya kebakaran kandang yang mlantrak ke rumah
yang umumnya terbuat dari bahan kayu itu. Kejadian kobongan sering kali
terjadi, karena untuk melindungi sapi dari mrutu serta memberi kehangatan
ternak sapi, para warga desa lazim melakukan bediyang selama semalam suntup.
Bediyang memang tidak dilakukan dengan api yang membara, tetapi cukup dengam
kayu kemudian diuruki dedeg presak dan awu layan agar kayu tetap terbakar
secraa perlahan dan menghasilkan asap yang berlimpah. Walaupun demikian
terkadang kayu tetap terbakar dengan api sehingga terjadilah kobongan. Kalo
sudah terjadi kobongan, sungguh merupakan peristiwa yang sangat mengerikan,
karena api begitu cepat melalap bahan-bahan yang mudah terbakar tersebut. Dan
warga pun saling bahu membahu untuk memadamkannya dengan menyiramkan air ke
rumah atau kandang yang kobongan.
Kedel yang selesai
dipisahkan dengan dadog kemudian dikumpulkan dengan cara disapu, ditapeni
sebelum kemudian di jual ke tengkulak (biasane wong piyaman) ataupun para
pengepul yang ada di desa. Nah karena halaman ataupun jalan yang dijadikan
tempat mepe kedel masih belum rata, alias masih banyak batu yang pating
medisil, maka sudah dapat dipastikan masih banyak biji kedel yang tertinggal di
selah-selah bebatuan itu. Kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh anak-anak desa
untu luru kedel yang tertinggal. Luru
kedel juga dilakukan di ladang yang kedelnya habis dierit. Dengan memungut
helai demi helai pohon kedel yang tertinggal. Kedel-kedel itu kemudian akan
dijual kepada para tengkulak. Biasanya mereka mendapatkan uang mulai dari selawe, telong puloh, paling banter seket
atau suwidak.
Uang hasil usaha keras
merekalah yang dijadikan anak-anak desa itu menghabiskan malam yang begitu rejo
di saat ramadhan tiba. Diberbagai prapatan muncul pedang-pedagang dadakan
dengan menggelar berbagai jajanan yang juga lazim ada di saat ulan poso.
Jajanan yang biasanya bertepatan dengan ulan poso adalah tebu. Jajanan ini
menjadi primadona disaat malam puasa. Tebu biasanya didatangkan dari pasar Kliwon dan Pon dalam bentuk selonjoran kemudian ditetek-tetek untuk dijual
dengan harga marepes samapi dengan sepuloh. Dasamping itu ada hal yang sering
kalai laku disaat puasa, yaitu lilin. Desa yang masih belum diterangi oleh
lampu listrik itu menjadikan lilin menjadi permainan menarik di gemerlap malam
bulan ramadhan. Disamping itu lilin juga sebagai cahaya yang menemanin
anak-anak desa untuk ngemit jubung mereka. Entah kenapa di bulan puasa
anak-anak juga suka sekali dengan mebuat jubung. Begitu senangnya mereka
sampai-sampai jubung dibangun dengan sangat indah, ditata batu yang rapi
diatasnya kemudian dibakar. Beberapa hari kemudian batu yang dibakar itupun
akan menjadi batu kapur atau gamping. Gamping yang tidak seberapa itu kemudian
dipakai untuk mainan, nglabor opo wae yang penting hati terpuaskan.
Disamping jubung,
anak-anak juga gemar bermain bledosan. Tidak hayal, desa itu tak ubahnya
seperti arena perang dengan bledosan yang saling saut menyahut. Bledosan
biasanya dibuat dari potongan bambu dengan panjang sekitar satu meter itu
dilubangi untuk yang berfungsi sebagai sumbu, ketika karbit sudah dimasukkan
disumpel dengan gombal, maka sumbupun siap dinyalakan dan....DUARRR.....suara
bledosan menggema seantero desa. Bledosan
juga bisa dibuat dengan cara menggali tanah dan dibikin seperti terowongan dan
dikasi tempat sumbu. Mekanisme kerjanya pun sama memasukkan karbit dengan
mencapur air disumpel pakai gombal dan sumbu dinyalakan.
Berbagai aktivitas di
bulan puasa itu dilakukan untuk menikmati bulan puasa dengan mengabaikan rasa
lapar, sehingga magribpun tiba tanpa terasa. Disamping arena permainan
tersebut, bagi anak-anak yang telah beranjak remaja kegiatan tadarus Al-qur’an
juga menjadi kewajiban. Dilaksanakan di mushollah-mushollah terdekat, mereka
mengaji sampai larut malam. Para remaja putri-pun tidak ketinggalan mereka
ngaji dengan tekun dengan suasana senang sambil menikmati aneka makanan kecil
sumbangan dari ibu-ibu.
Aktivitas tersebut
dilaksanakan hampir semajang bulan puasa, hingga menjelang yoyo tiba.
Sebagaimana dengan kondisi anak-anak pada umumnya, menjelang lebaran anak-anak
desa tersebut juga tak jarang dibelikan baju atau sarung baru. Tapi bagi yang
kurang beruntung, mereka cukup membeli pakain bekas yang biasanya dijajahkan
oleh pedagang bekas dari daerah pesisir utara. Apapun jenis pakaian yang
dipakai, tidak mengurangi keriangan anak-anak desa itu dalam menyambut hari yoyo itu.
Di hari yoyo hampir semua warga pulang kampung,
baik bocah pondokan atau para pemuda
yang merantai mecari kerja ke kota. Setelah sholad Ied, mereka sungkem ke orang
tua masing-masing dan setelah itu mereka keliling dari satu rumah ke rumah
warga yang lain. Secara mengantri mereka memohon maaf atas segalah salah dan
khilaf, dengan salaman mereka pun pluputan...”Wa’yu/wa’gus pinten-pinten kelepatan kulo,
nedi sepuro kale sampean...” yang biasanya karena kurang tahu struktur
bahasanya mereka pun mmengucapkannya hanya jelas di ujungnya saja Wa’yu dan Wa’gus selebihny ngngngngngngng...ngngng sampean.....hehe
dasar anak-anak. Tetapi apapun kondisinya masa kanak-kanak merupakan masa
bahagia yang sulit untuk dilupakan.
Indahnya masa kanak-kanak.
KETIGO
Musim ketigo tiba, dimasa ini kondisi desa dan
sekitarnya kurang begitu menggairahkan. Panasnya sengatan matahari serta
keringnya lahan pertanian dan hutan jati membuat aktivitas anak-anak desa itu
kurang bergairah. Tetapi itu hanya berlangsung sesaat, terutama disaat
menjelang berangkat angon. Saking panasnya kondisi desa sampai-sampai mereka
enggan untuk beranjak, tidur-tiduran dibawah pohon klampokatau gedang dengan angin yang sumilir memang jauh lebih
nikmat. Tetapi kewajiban angon tetaplah harus dijalankan, karena mereka tidak
mau berdosa pada wedhus-wedhus mereka
yang ngembek-embek menahan lapar.
Kembali rutinitas
angonpun berjalan, dimusim kemarau ini sering kali mereka membawa bekal air
minum yang relatif banyak. Jurigen
sebuah wadah air yang umum mereka pakai dan palig banyak dijual diwilayah desa
menjadi tentengan untuk bekal mereka angon.
Debu-debu jalanan
mengepul dibelakang kaki-kaki kambing pada jalanan tanah. Kambing-kambing itu
seakan tidak sabar menahan lapar setengah berlari menuju tempat angonan. Ada yang berbeda disaat musim ketigo ini, kalau dimasa-masa rendeng atau penghujan tempat angon adalah hutan jati. Tetapi di masa ketigo ini areal hutan jati dan hampir
seluruh rumputnya mengering, tidak mungkin kambing-kambing mereka mau
menyantapnya, oleh karenanya, musim di musim ketigo lokasi angon
adalah diarea ladang yang masih menyisahkan rerumputan hijau. Kecuali anak-anak
yang memiliki jenis wedhus jowo, mereka akan tetap menggembalakan kambingnya di
hutan, karena wedhus jenis ini umumnya tidak makan rumput tapi pkan hijau dari
tumbuhan semak atau rambanan.
Jenis rumput yang ada
dihutan jati dan tegalan memang berbeda, disaat musim ketigo yang membuat
kering rumput-rumput di hutan jati, di area ladang rumput-rumput itu masih
nampak menghijau walaupun tidak dalam kondisi subur. Lagi pula di masa ketigo ini banyak lahan-lahan yang tidak
ditanami karena kekurangan pasokan air, hanya ada satu dua petak yang ditanami
jagung dengan mengandalkan air tampungan hujan yang ada di jublang atau aliran air disungai yang sangat kecil debit airnya.
Para petani desa itu terkadang rela di malam hari mereka harus ngilekno banyu di kali agar sampa
didekat lading-ladang mereka. Ngilekno
banyu di kali mutlak dilakukan karena kalau tidak air akan hanya mandeg di
daerah-daerah atas saja, karena masing-masing petani pada mbendung kali didekat
lading mereka untuk kepentingan unu-unu.
Selanjutnya, para petani itu akan melakukan unu-unu
di pagi hari menjaga dan merawat supaya tanaman-tanaman itu kelak akan menuai
hasil.
Beratnya perjuangan para
orang tua (petani) itu dalam merawat tanaman, membuat mereka terkadang akan
marah besar apabila tanama yang dirawatnya itu dibubol oleh kambing-kambing bocah angon itu, mereka akan berteriak
lantang..”woi…weduse sopo iki…? mbubol
jagung…..”. para anak-anak itu bisanya akan langsung terperanjat dan segera
lari untuk ngejikno kambing-kambing
mereka yang mbubol.
Mbubol-nya kambing-kambing itu
jelas diakibatkan oleh keteledoran anak-anak angonan itu. Biasanya mereka asyik
bermain di gubug-gubug petani atau bahkan oléng
di tempat yang sudah jauh ditinggalkan oleh kambing-kambing mereka. Permainan oléng ini sering dilakukan disaat ketigo, walaupun diantara mereka juga
seringkali saling mengingatkan bahwa permainan ini dosa. Apa sebab..? oléng adalah permainan yang dianggap
mereka sebagai judi. Karena mereka kudu ‘udu
atau urun’ rumput dengan besaran yang
ditentukan mereka. Rumput itu kemudian dikumpulkan sebagai hadia bagi pemenang,
oléng pun dilakukan dengan cara
memasang kayu sebagai tempat sasaran kemudian masing-masing peserta melemparkan
arit mereka, siapa yg mengenai kayu tersebut dialah pemenangnya, tapi kalau
tidak ada yang mengenai maka lemparan terdekat-lah yang menjadi pemenang.
Rumput hasil oléng itu akan menjadi
hak pemenang dan santapan bagi kambingnya. Mungkin itulah yang membuat mereka
terkadang merasa takut untuk melakukan permainan ini.
Musim ketigo juga berarti musim mangga (bajangan). Pohon mangga yang banyak
tersebar di lading-ladang petani nampak pada berbuah lebat. Tidak jarang, pohon
mangga yang sedang berbuah itu menjadi sasaran anak-anak desa itu untuk
mengambilnya. Kadang, kalau ada sang pemilik, mereka tak sungkan untuk
meminta-nya…”wak gus….njalok
bajanganee….?”..’iyo me’oo…jawab
petani yang dimintai bajangan
tersebut’. Tetapi sering juga andai petani yang punya mangga tidak berada
ditempat, maka mereka pun seolah sudah meminta izin dan mengambil bajangan itu
dengan cara dilempar atau dipenek.
Melimpahnya buah bajangan seolah-olah menjadikan seluruh
pemilik meng-ihlaskan bajangan-bajangan
itu diambil oleh para boca angon itu.
Apalagi jenis bajangan yang poh-nya
kurang favorit seperti poh puteh dan poh jiwo maka bebas-bebas saja anak-anak
angonan itu mengambil dari pohonnya. Bajangangan yang mateng dipohon memang
terasa lebih nikmat, itupun kalau belum kedahuluan codot dan kalong yang juga
bergerilya mencari makan di malam hari. Maka jika sudah mendapatkan bajangan yang tua dan agak
mateng…hem..senang sekali mereka, tetapi jika bajangan-nya itu belum begitu tua/matang hm….terasa ngilu lidasen.
Pelok bajangan tidak luput
dari tangan kreatif boca-boca angon itu, setelah mongering pelok itu akan
mereka ubah menjadi suweran. Mainan
ini terdiri atas dua pelo, yaitu satu buat kitiran dan satunya lagi sebagai
tiang penyanggah. Pelok yang sebagai kitiran biasanya diambil dari pelok poh
puteh atau poh santok yang memiliki bentuk pipih dan memajnang. Sedangkan
sebagai penyangganya digunakan pelok yang bulat dan besar biasanya berasal dari
poh jiwo. Pelok besar tersebut dibuang isi dalamnya kemudian di bikin lubang
kecil bagian bawah sebagai tempat tali sumbu untuk menarik kitiran diatas yang
duhubungnkan dengangan penyangga kayu….jika sudah ditarik mainan ini sangat
menyenangkan karena disamping bisa berputar-putar juga mengeluarkan suara yang
nyaring…suer…..suer….suer…
Matahari telah berada di
ufuk barat dengan memancarkan sinar merahnya, waktunya nglirip. Anak-anak desa itu segera mengarahkan kambing-kambing
mereka menuju arah pulang. Kadangkala mereka berbarengan dengan para orang tua
yang sedang mengendarai glinding sehabis
memuat pupuk kandang. Kalau sudah mendapatka gelinding ini berarti rezki bagi
mereka, karena mereka akan bisa nggantrong
gelinding sampai perbatasan desa, sampai akhirnya satu persatu mereka menuju
rumah masing-masing untuk kembali memulai aktivitas di malam hari.
Bersambung........>>>
1 komentar:
musim ketigo, ojo lali maen layangan, dladungan, ngrjar layangan pedot sampe tegalan,,,, muleh gak oleh layangan tapi oleh bajangan....
Posting Komentar