Minggu, 03 Juli 2011

Kisah Si Bolang dari Solokuro

Bocah Angon-(an) dari Solokuro
Gemuruh suara riang anak-anak menggema dari sebuah mushollah, malam itu mereka telah selesai mengaji yang dibimbing oleh guru ngaji. Saling bersenda gurau, anak-anak itupun meninggalkan mushollah dan secara berkelompok berpencar. Ada dua kelompok dari anak-anak kecil itu, kelompok pertama menuju arah timur dan yang kedua berjalan ke arah barat. Ya, mereka berjalan menurut kelompoknya untuk melakukan kegiatan berikutnya, yaitu belajar. Belajar kelompok ini didasarkan atas kedekatan rumah masing-masing, yang mengarah ke arah timur lazim mereka sebut njar wetan, dan yang menuju arah barat adalah kelompok njar kulon. Mereka belajar berkelompok untuk persiapan pelajaran sekolah di esok hari.
satu orang membaca, yang lainnya menyimak dan memperhatikan dengan seksama. Maklum kadangkala tiap kelompok yang terdiri atas 4-5 orang itu tidak semuanya memiliki buku bacaan, bisa jadi dari kelompok tersebut hanya hanya memiliki masing-masing satu buku jenis pelajaran yang dimiliki. Oleh karenanya, membaca dan menyimak merupakan cara untuk mendapatkan ilmu bersama dengan sumber yang minim itu.
Tidak lama mereka belajar, disaat kumandang adzan isya’ mereka-pun bergegas menuju ke rumah masing-masing. Tetapi pulang ke rumah pun bisa batal apabila kondisi cuaca meungkinkan untuk bermain. Yang artinya bulan bersinar dengan terangnya. Dengan kondisi sinar bulan yang terang itu anak-anak akan langsung menikmati bulan purnama dengan aneka permainan tradisional. Ada beberapa permainan menarik jika dilakukan dimalam bulan purnama, diantaranya adalah ndheman yaitu jenis permainan dengan cara mengumpet dan satu orang sebagai si masang (sebutan untuk yang giliran jaga) untuk menemukan teman lain yang mengumpet. Di permainan ini ada cara unik untuk mengindari temuan dari si masang, yaitu dengan cara masuk bergerombol dalam satu sarung bersama-sama yang terdiri atas 2, 3 sampai 4 orang kemudian sarung itu ditutup rapat-rapat. Dengan cara ini, walaupun si masang dapat dengan mudah menemukan posisi mereka tapi akan kesulitan menebak salah satu dari mereka. Penebakan dilakukan dengan cara merabah, dan apabilah salah menebak, maka mereka akan berteriak dari sarung dengan teriakan..”salah paham....” dan si masang pun harus mengulangi lagi sebagai pemasang.
Jenis permainan lain yang sering kali dimainkan anak-anak itu adalah pol-polan dan slodoran. Permainan pol-polan hampir mirip dengan ndeman, hanya saja penentuan untuk menjadi masang harus ditentukan dengan cara melempar tumpukan kreweng dari jarak tertentu. jika si pelempar jitu maka giliran orang setelkahnyalah yang menjadi masang. Permainan ini juga mengandalkan kecekatan, jika si masang lengah tumpukan kreweng yang dilangkahi itu akan menjadi sasaran tendangan, dan itu artinya masang gagal dan mengulanginya menjadi masang. Yang unik si masang harus menjaga tumpukan kreweng itu dengan carfa melangkahi. Jika tumpukan kreweng itu ditinggal untuk mencari yang sengedan maka kreweng itu menjadi sasaran si sengedan dan biasanya si masang berusaha untuk melangkahi tumpukan kreweng itu.
Sedangkan slodoran adalah jenis permainan ketangkasan, pertama anak-anak itu akan membuat garis dengan ukuran kotak-kotak sekitar 1-2 meter persegi. Merke terbagi menjadi dua grup yang biasanya ditentukan oleh kedekatan pertemanan mereka. Setelah terbentuk grup, mereka melakukan sut untuk menentukan siapa yang jaga dan siapa yang menjadi yang ditangkap. Permainan ini dimulai dengan ditandai oleh isyarat dari penjaga garis tengah dengan ucapan...”tiiiiiitttttttttttttttttttt....” dan mulailah permainan ketangkasan itu dimulai. Kelompok yang akan ditangkap bisa dikatakan menang apabilah salah satu dari mereka dapat menyelesaikan finish ke belakang dan balik lagi ke depan, jika itu terjadi merkeka akan melakukan teriakan “kajiiiiiii................
Malam pun semakin larut, dan terkadang anak-anak itu terlalu asyik bermain samapi kadang orang tua mereka menyusul ke tempat permainan mereka, “he...wes bengi, nang muleh....” panggil para orang tua itu.
Keesokan harinya, mentari bersinar di desa yang damai itu. Anak-anak itupu bergegas melakukan sholat subuh, biasanya agak siang karena mungkin saking asyiknya bermain di malam hari. Kalupun subuh mereka sudah bangun, mereka menyempatkan untuk kembali membaca buku-buku pelajaran. Membaca buku di pagi buta menurut kabar yang berkembang di desa mereka bahwa membaca di pagi hari itu bisa cepet ‘nyentel’. Setelah itu baru mereka menuju kolam pemandian besar di depan masjid. Memang anak-anak itu tidak pernah habis keceriaannya, di kolam itu mereka tidak hanya mandi, tapi juga ‘kebyuran’, obyok-obyokan, dan yang paling sering tentu adalah balapan nglangi. Lagi-lagi mereka sampai lupa waktu, kadang mereka nunggu disentak dulu oleh para orang-orang dewasa yang sedang mandi baru anak-anak itu akan mentas dengan mata memerah karena kelamaan kebyuran.
Pulang dari sendang, anak-anak itu kemudian mempersiapkan diri untuk sekolah. Di madrasah mereka lebih kental dengan berbagai pelajaran agama. Seperti Qur’-an dan Hadist, Fiqh, Nahwu dan Sharaf. Jam pelajaran dimulai pukul 7 pagi dan istirahat jam 9. Pada jam istirahat ini mereka balik lagi ke rumah untuk makan. Walaupun pagi harinya sudah sarapan tapi jam istirahat bisa dipastikan mereka akan pulang untuk makan. Ini dilakukan karena umumnya mereka tidak dibekali uang untuk jajan, toh kalaupun jajan paling yang di beli adalah krupuk dan es potong, mentok-mentok ya hingkuwi. Di rumah jam 9an itu terasa sepi, karena para orang tua sudah pada berangkat ke sawah masing-masing. Rutinitas ke sawah para orang tua dilaksanakan pada pagi hari, ramai sekalai para orang tua itu menuju ke arah timur dimana segian besar posisi sawah mereka yang disebelah timur desa. Para bapak menuntun sapi dan mikul keranjang atau krakal dan singkal jika musim ngrakal tiba. Dan para ibu menggendong bekal makanan di sawah nanti.
Kenyang makan jam istirahat, anak-anak itu kembali lagi ke madrasah, biasanya madrasah buyar jam 11 sampai jam 11.30. Setelah buyar sekolah, anak-anak itu kembali menuju sendang, mandi kebyuran. Tapi kali ini tidak begitu lama, mereka lalu menuju masjid untuk sholat dluhur dan bergegas pulang. Kenapa begitu singkat mereka mandi kebyuran..??? tidak lain karena mereka telah memiliki tanggung jawab terhadap kambing-kambing mereka. Ya, selepas sekolah, anak-anak itu akan segera menggembalakan kambing-kambing mereka ke hutan jati di sebelah timur desa mereka. Angon kambing ini dilakukan secara berkelompok, biasanya didasarkan atas kedekatan rumah atau juga berdasarkan kecocokan akan pergaulan mereka.
Beberapa area yang biasa menjadi tujuan mereka angon diantaranya mulai dari tempat paling dekat, yaitu Gunung jodo, cemplongan, lore klongkrong, sambi loro, kali buntung, dan jarang ke daerah mboro, asem manak dan asem joget. Tempat-tempat terakhir ini cenderung jauh dan dikenal angker sehingga jarang sekali anak-anak desa itu angon ke sana. Disamping angon, anak-anak itu juga tidak lepas melakukan bakti mereka pada orang tua, dengan cara mengumpulkan kayu bakar di hutan. Umumnya kayu bakar ini merupakan tumbuhan semak yang jumlahnya melimpah, seperti jiring abang dan sesekali putri. Jiring abang lebih sering jadi pilihan karena bentuknya yg lurus-lurus sehingga mudah bawanya, lain halnya dengan putri yang cenderung beranting-ranting.
Sejatinya jiring dan putri bukan kayu bakar terbaik, karena tumbuhan semak ini sangat cepat habis jika dipakai memasak. Tentu akan berbeda dengan kayu jati ataupun akasia yang lebih awet untuk memasak. Tetapi, anak-anak itu seringkali tidak berani untuk mengambil cabang kayu jati dan akasia karena takut pada mandor jaten yang sering kali patroli sekitar hutan. Walaupun kalo dipikir-pikir sebenarnya pemangkasan cabang pada kayu akan mengakibatkan kayu jati lebih cepat tumbuh dan bentuknya lurus, tetapi adpa daya ketakutan pada mandor jaten membuat anak-anak itu tidak berani untuk mengambil pang-pang kayu jati terkecuali yang telah menjadi tinggar.
Diselah-selah aktivitas angon itu, keriangan anak-anak desa itu tidak pernah surut sedikitpun baik di kala cuaca cerah ataupun hujan. Berbagai permainan mereka lakukan, lebih seruh lagi apabila hujan turun dengan derasnya. Aliran air yang deras akan dimanfaatkan jadi bendungan dan dibuatlah kincir air yang bisa memutar. Hujan juga dimanfaatkan untuk main perang-perangan, gulat dan lain sebagainya. Saking asyiknya kadang kambing-kambing mereka sudah meninggalkan mereka cukup jauh, kalau sudah begini anak-anak itu baru kesulitan mencari kambing-kambing mereka.
Jika beruntung, mereka dapat dengan cepat menemukan kambing-kambing mereka. Tetapi apabila jejak kambing itu berjalan begitu jauh maka anak-anak itu akan berpencar ke berbagai arah. Dalam mencari kambing-kambing mereka, anak-anak itu melakukannya dengan cara menggrong (memanjat pohon dengan ukuran yang sangat tinggi). Begitulah usaha mereka untuk mendapatkan kambing-kambing mereka kembali, sambil sesekali berteriak dan memberi aba-aba kepada kawannya yang juga menggrong.. Hoiii....., ono gak......? ora ono.....sahut yang satu dari arah yang lain. Dan kalao kambing-kambing itu sudah diketemukan salah satu dari mereka dengan gembira mengambarkan kepada kawan-kawannya.....hoiii.....nek kene.....ndek endi.......? wetane akasia doyong (sahut si pemberi informasi merujuk pada nama tempat dimana ada pohon akasia yang tumbuh doyong).
Mentari sudah condong ke barat dan memancarkan kilauan lembayung yang memerah, anak-anak desa itupun segera nglirip, istilah untuk mengarahkan kambing-kambing itu ke arah pulang. Dasar anak-anak, diwaktu pulang angon-pun keceriaan tetap menjadi bagian yang tidak lepas dari mereka. Umumnya mereka melakukan balapan kambing, kali ini yang jadi korban adalah anak kambing yang masih lincah. Mereka akan menahannya supaya tertinggal dari gerombolan kambing yang berjalan ke arah pulang. Setelah beberapa meter anak kambing yang terus mengembek-embek itupun dilepas. Karena ingin segera dekat sama induknya maka anak kambing itu akan berlari sekencang-kencangnya.
Selesai menggembalakan kambing-kambingnya, anak-anak desa itu kembali ke sendang ituk mandi. Sama dengan mandi siang, mandi sore ini juga dilakukan dengan agak singkat, mengingat waktu asar yang semakin mepet. Selepas mandi mereka menuju masjid dan melaksanakan sholat asar. Waktu yang pendek itu membuat merek sholat denga balapan (jundal-jundil). Setelah itu mereka beranjak pulang dan segera mempersiapkan diri ke mushollah-mushollah terdekat untuk sholat magrib dan mengaji.

MUSIM LIBURAN (PREINAN)
Jum’at merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak desa itu, sebab libur sekolah adalah hari jum’at bukan hari minggu sebagaimana yang terjadi pada umumnya. Bahkan anak-anak desa itupun gak pernah tahu kalau sebenarnya dino ahad adalah hari libur yang berlaku nasional, bahkan internasional.
Jika jum’at tiba mereka punya waktu banyak untuk bermain. Pagi hari kadang mereka ikut ke sawah membantu pak dan mbok mereka. Tapi tidak jarang, mereka mengagendakan sesuatu bersama teman-temannya. Mancing welot mungkin salah satunya, dengan menyusuri kali mereka mengendap-endap mencari lubang-lubang welut untuk di kileni pake pancing. Kadang ada yang nyeser iwak wader atau mujair. Ada juga diantara mereka yang bergerilya ke sawah-sawah (ladang) dengan menteng ketepal untuk nyetip manuk. Mereka umunya melakukannya hanya pagi sampai menjelang siang, begitu penetek merekapun akan segera pulang dengan membawa hasil buruan masing-masing. Setelah jum’atan aktivitas angon pun tetap berjalan.
Aktiviatas yang sama juga dilakukan jika libur ujian tiba. Mereka akan dengan leluasa menikmati liburan itu dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan. Sedikit berbeda ketika libur puasa ramadhan, bulan ramadhan selama satu bulan full sekolah memang libur (gak tahu kalo sekarang), biasanya diisi dengan kegiatan ramadhan di sekolah di akhir bulan puasa. Tetapi sebelum kegiatan resmi sekolah itu, anak-anak desa mengisi waktu libur dengan berbagai kegiatan yang sedikit berbau materi. Entah kenapa sering kali di waktu ramadhan tiba, kebetulan jenis tanaman yang sering ditanam oleh para warga solokuro adalah kedel. Walaupun jenis tanaman ini membutuhkan tenaga ekstra dalam mengelolah, apalagi di saat puasa. Luar biasa memang perjuangan bapak dan ibu Solokuro, pekerja keras dan tekun beribadah. Kedel yang telah di erit dibawah pulang dengan cara dipikul atau digendong. Nyampek dirumah, kedel itu di jemur di halaman rumah dan dijalanan. Biji kedel memang cukup keras jadi tidak masalah bila dijemur dijalanan, bahkan para Bapak dan Ibu itu akan seneng kalo kedelitu terinjak, atau terlindas motor, sepeda lebih-lebih glindeng (dengan catatan sapine gak nletong) karena akan membantu merontokkan biji kedel tersebut. Perontokan biji kedel dilakukan dengan cara di geblek. Geblek biasanya terbuat dari kayu yang tidak terlalu berat juga tidak terlalu ringan, yang umum dijadikan geblek adalah pelepah kelapa bentuknya yang pipih menjadikan biji kedel lebih cepat rontok jika sudah kenapukulan tangan-tangan perkasa Bapak-bapak dan Ibu-ibu itu. Setelah selesai digeblek, dadok (pohon kedel yang sudah tidak berbiji) di singkirkan. Biasanya dadok ini dijadikan sebagai makanan sapi, terutama dimusim kemarau manakalah suket sudah jarang ditemui. Karena untuk cadangan makanan sapi, dadok biasanya ditempatkan diatas kandang (empon-empon). Kondisinya yang kering, dadok (dan juga damen) tidak jarang menjadi penyebab terjadinya kebakaran kandang yang mlantrak ke rumah yang umumnya terbuat dari bahan kayu itu. Kejadian kobongan sering kali terjadi, karena untuk melindungi sapi dari mrutu serta memberi kehangatan ternak sapi, para warga desa lazim melakukan bediyang selama semalam suntup. Bediyang memang tidak dilakukan dengan api yang membara, tetapi cukup dengam kayu kemudian diuruki dedeg presak dan awu layan agar kayu tetap terbakar secraa perlahan dan menghasilkan asap yang berlimpah. Walaupun demikian terkadang kayu tetap terbakar dengan api sehingga terjadilah kobongan. Kalo sudah terjadi kobongan, sungguh merupakan peristiwa yang sangat mengerikan, karena api begitu cepat melalap bahan-bahan yang mudah terbakar tersebut. Dan warga pun saling bahu membahu untuk memadamkannya dengan menyiramkan air ke rumah atau kandang yang kobongan.
Kedel yang selesai dipisahkan dengan dadog kemudian dikumpulkan dengan cara disapu, ditapeni sebelum kemudian di jual ke tengkulak (biasane wong piyaman) ataupun para pengepul yang ada di desa. Nah karena halaman ataupun jalan yang dijadikan tempat mepe kedel masih belum rata, alias masih banyak batu yang pating medisil, maka sudah dapat dipastikan masih banyak biji kedel yang tertinggal di selah-selah bebatuan itu. Kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh anak-anak desa untu luru kedel yang tertinggal. Luru kedel juga dilakukan di ladang yang kedelnya habis dierit. Dengan memungut helai demi helai pohon kedel yang tertinggal. Kedel-kedel itu kemudian akan dijual kepada para tengkulak. Biasanya mereka mendapatkan uang mulai dari selawe, telong puloh, paling banter seket atau suwidak.
Uang hasil usaha keras merekalah yang dijadikan anak-anak desa itu menghabiskan malam yang begitu rejo di saat ramadhan tiba. Diberbagai prapatan muncul pedang-pedagang dadakan dengan menggelar berbagai jajanan yang juga lazim ada di saat ulan poso. Jajanan yang biasanya bertepatan dengan ulan poso adalah tebu. Jajanan ini menjadi primadona disaat malam puasa. Tebu biasanya didatangkan dari pasar Kliwon dan Pon dalam bentuk selonjoran kemudian ditetek-tetek untuk dijual dengan harga marepes samapi dengan sepuloh. Dasamping itu ada hal yang sering kalai laku disaat puasa, yaitu lilin. Desa yang masih belum diterangi oleh lampu listrik itu menjadikan lilin menjadi permainan menarik di gemerlap malam bulan ramadhan. Disamping itu lilin juga sebagai cahaya yang menemanin anak-anak desa untuk ngemit jubung mereka. Entah kenapa di bulan puasa anak-anak juga suka sekali dengan mebuat jubung. Begitu senangnya mereka sampai-sampai jubung dibangun dengan sangat indah, ditata batu yang rapi diatasnya kemudian dibakar. Beberapa hari kemudian batu yang dibakar itupun akan menjadi batu kapur atau gamping. Gamping yang tidak seberapa itu kemudian dipakai untuk mainan, nglabor opo wae yang penting hati terpuaskan.
Disamping jubung, anak-anak juga gemar bermain bledosan. Tidak hayal, desa itu tak ubahnya seperti arena perang dengan bledosan yang saling saut menyahut. Bledosan biasanya dibuat dari potongan bambu dengan panjang sekitar satu meter itu dilubangi untuk yang berfungsi sebagai sumbu, ketika karbit sudah dimasukkan disumpel dengan gombal, maka sumbupun siap dinyalakan dan....DUARRR.....suara bledosan menggema seantero desa. Bledosan juga bisa dibuat dengan cara menggali tanah dan dibikin seperti terowongan dan dikasi tempat sumbu. Mekanisme kerjanya pun sama memasukkan karbit dengan mencapur air disumpel pakai gombal dan sumbu dinyalakan.
Berbagai aktivitas di bulan puasa itu dilakukan untuk menikmati bulan puasa dengan mengabaikan rasa lapar, sehingga magribpun tiba tanpa terasa. Disamping arena permainan tersebut, bagi anak-anak yang telah beranjak remaja kegiatan tadarus Al-qur’an juga menjadi kewajiban. Dilaksanakan di mushollah-mushollah terdekat, mereka mengaji sampai larut malam. Para remaja putri-pun tidak ketinggalan mereka ngaji dengan tekun dengan suasana senang sambil menikmati aneka makanan kecil sumbangan dari ibu-ibu.
Aktivitas tersebut dilaksanakan hampir semajang bulan puasa, hingga menjelang yoyo tiba. Sebagaimana dengan kondisi anak-anak pada umumnya, menjelang lebaran anak-anak desa tersebut juga tak jarang dibelikan baju atau sarung baru. Tapi bagi yang kurang beruntung, mereka cukup membeli pakain bekas yang biasanya dijajahkan oleh pedagang bekas dari daerah pesisir utara. Apapun jenis pakaian yang dipakai, tidak mengurangi keriangan anak-anak desa itu dalam menyambut hari yoyo itu.
Di hari yoyo hampir semua warga pulang kampung, baik bocah pondokan atau para pemuda yang merantai mecari kerja ke kota. Setelah sholad Ied, mereka sungkem ke orang tua masing-masing dan setelah itu mereka keliling dari satu rumah ke rumah warga yang lain. Secara mengantri mereka memohon maaf atas segalah salah dan khilaf, dengan salaman mereka pun pluputan...”Wa’yu/wa’gus pinten-pinten kelepatan kulo, nedi sepuro kale sampean...” yang biasanya karena kurang tahu struktur bahasanya mereka pun mmengucapkannya hanya jelas di ujungnya saja Wa’yu dan Wa’gus selebihny ngngngngngngng...ngngng sampean.....hehe dasar anak-anak. Tetapi apapun kondisinya masa kanak-kanak merupakan masa bahagia yang sulit untuk dilupakan. Indahnya masa kanak-kanak.

KETIGO
Musim ketigo tiba, dimasa ini kondisi desa dan sekitarnya kurang begitu menggairahkan. Panasnya sengatan matahari serta keringnya lahan pertanian dan hutan jati membuat aktivitas anak-anak desa itu kurang bergairah. Tetapi itu hanya berlangsung sesaat, terutama disaat menjelang berangkat angon. Saking panasnya kondisi desa sampai-sampai mereka enggan untuk beranjak, tidur-tiduran dibawah pohon klampokatau gedang dengan angin yang sumilir memang jauh lebih nikmat. Tetapi kewajiban angon tetaplah harus dijalankan, karena mereka tidak mau berdosa pada wedhus-wedhus mereka yang ngembek-embek menahan lapar.
Kembali rutinitas angonpun berjalan, dimusim kemarau ini sering kali mereka membawa bekal air minum yang relatif banyak. Jurigen sebuah wadah air yang umum mereka pakai dan palig banyak dijual diwilayah desa menjadi tentengan untuk bekal mereka angon.
Debu-debu jalanan mengepul dibelakang kaki-kaki kambing pada jalanan tanah. Kambing-kambing itu seakan tidak sabar menahan lapar setengah berlari menuju tempat angonan. Ada yang berbeda disaat musim ketigo ini, kalau dimasa-masa rendeng atau penghujan tempat angon adalah hutan jati. Tetapi di masa ketigo ini areal hutan jati dan hampir seluruh rumputnya mengering, tidak mungkin kambing-kambing mereka mau menyantapnya, oleh karenanya, musim di musim ketigo lokasi angon adalah diarea ladang yang masih menyisahkan rerumputan hijau. Kecuali anak-anak yang memiliki jenis wedhus jowo, mereka akan tetap menggembalakan kambingnya di hutan, karena wedhus jenis ini umumnya tidak makan rumput tapi pkan hijau dari tumbuhan semak atau rambanan.
Jenis rumput yang ada dihutan jati dan tegalan memang berbeda, disaat musim ketigo yang membuat kering rumput-rumput di hutan jati, di area ladang rumput-rumput itu masih nampak menghijau walaupun tidak dalam kondisi subur. Lagi pula di masa ketigo ini banyak lahan-lahan yang tidak ditanami karena kekurangan pasokan air, hanya ada satu dua petak yang ditanami jagung dengan mengandalkan air tampungan hujan yang ada di jublang atau aliran air disungai yang sangat kecil debit airnya. Para petani desa itu terkadang rela di malam hari mereka harus ngilekno banyu di kali agar sampa didekat lading-ladang mereka. Ngilekno banyu di kali mutlak dilakukan karena kalau tidak air akan hanya mandeg di daerah-daerah atas saja, karena masing-masing petani pada mbendung kali didekat lading mereka untuk kepentingan unu-unu. Selanjutnya, para petani itu akan melakukan unu-unu di pagi hari menjaga dan merawat supaya tanaman-tanaman itu kelak akan menuai hasil.
Beratnya perjuangan para orang tua (petani) itu dalam merawat tanaman, membuat mereka terkadang akan marah besar apabila tanama yang dirawatnya itu dibubol oleh kambing-kambing bocah angon itu, mereka akan berteriak lantang..”woi…weduse sopo iki…? mbubol jagung…..”. para anak-anak itu bisanya akan langsung terperanjat dan segera lari untuk ngejikno kambing-kambing mereka yang mbubol.
Mbubol-nya kambing-kambing itu jelas diakibatkan oleh keteledoran anak-anak angonan itu. Biasanya mereka asyik bermain di gubug-gubug petani atau bahkan oléng di tempat yang sudah jauh ditinggalkan oleh kambing-kambing mereka. Permainan oléng ini sering dilakukan disaat ketigo, walaupun diantara mereka juga seringkali saling mengingatkan bahwa permainan ini dosa. Apa sebab..? oléng adalah permainan yang dianggap mereka sebagai judi. Karena mereka kudu ‘udu atau urun’ rumput dengan besaran yang ditentukan mereka. Rumput itu kemudian dikumpulkan sebagai hadia bagi pemenang, oléng pun dilakukan dengan cara memasang kayu sebagai tempat sasaran kemudian masing-masing peserta melemparkan arit mereka, siapa yg mengenai kayu tersebut dialah pemenangnya, tapi kalau tidak ada yang mengenai maka lemparan terdekat-lah yang menjadi pemenang. Rumput hasil oléng itu akan menjadi hak pemenang dan santapan bagi kambingnya. Mungkin itulah yang membuat mereka terkadang merasa takut untuk melakukan permainan ini.
Musim ketigo juga berarti musim mangga (bajangan). Pohon mangga yang banyak tersebar di lading-ladang petani nampak pada berbuah lebat. Tidak jarang, pohon mangga yang sedang berbuah itu menjadi sasaran anak-anak desa itu untuk mengambilnya. Kadang, kalau ada sang pemilik, mereka tak sungkan untuk meminta-nya…”wak gus….njalok bajanganee….?”..’iyo me’oo…jawab petani yang dimintai bajangan tersebut’. Tetapi sering juga andai petani yang punya mangga tidak berada ditempat, maka mereka pun seolah sudah meminta izin dan mengambil bajangan itu dengan cara dilempar atau dipenek.
Melimpahnya buah bajangan seolah-olah menjadikan seluruh pemilik meng-ihlaskan bajangan-bajangan itu diambil oleh para boca angon itu. Apalagi jenis bajangan yang poh-nya kurang favorit seperti poh puteh dan poh jiwo maka bebas-bebas saja anak-anak angonan itu mengambil dari pohonnya. Bajangangan yang mateng dipohon memang terasa lebih nikmat, itupun kalau belum kedahuluan codot dan kalong yang juga bergerilya mencari makan di malam hari. Maka jika sudah mendapatkan bajangan yang tua dan agak mateng…hem..senang sekali mereka, tetapi jika bajangan-nya itu belum begitu tua/matang hm….terasa ngilu lidasen.
Pelok bajangan tidak luput dari tangan kreatif boca-boca angon itu, setelah mongering pelok itu akan mereka ubah menjadi suweran. Mainan ini terdiri atas dua pelo, yaitu satu buat kitiran dan satunya lagi sebagai tiang penyanggah. Pelok yang sebagai kitiran biasanya diambil dari pelok poh puteh atau poh santok yang memiliki bentuk pipih dan memajnang. Sedangkan sebagai penyangganya digunakan pelok yang bulat dan besar biasanya berasal dari poh jiwo. Pelok besar tersebut dibuang isi dalamnya kemudian di bikin lubang kecil bagian bawah sebagai tempat tali sumbu untuk menarik kitiran diatas yang duhubungnkan dengangan penyangga kayu….jika sudah ditarik mainan ini sangat menyenangkan karena disamping bisa berputar-putar juga mengeluarkan suara yang nyaring…suer…..suer….suer…
Matahari telah berada di ufuk barat dengan memancarkan sinar merahnya, waktunya nglirip. Anak-anak desa itu segera mengarahkan kambing-kambing mereka menuju arah pulang. Kadangkala mereka berbarengan dengan para orang tua yang sedang mengendarai glinding sehabis memuat pupuk kandang. Kalau sudah mendapatka gelinding ini berarti rezki bagi mereka, karena mereka akan bisa nggantrong gelinding sampai perbatasan desa, sampai akhirnya satu persatu mereka menuju rumah masing-masing untuk kembali memulai aktivitas di malam hari.
Bersambung........>>>

1 komentar:

Anonim mengatakan...

musim ketigo, ojo lali maen layangan, dladungan, ngrjar layangan pedot sampe tegalan,,,, muleh gak oleh layangan tapi oleh bajangan....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India