Padi varietas lokal ini memiliki banyak perbedaan dibandingkan dengan padi varietas unggul “yang lazim masyarakat sebut pari endek”. Perbedaan yang paling mencolok adalah tampilan fisiknya, padi lokal yang lazim disebut ‘pari jero’ memiliki ukuran batang lebih besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan padi varietas unggul. Ukuran batang padi lokal bisa dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan batang padi varietas unggul, mungkin karena ukurannya yang tinggi dan besar itu sehingga batangnya pun bisa kokoh berbentuk bulat beruas-ruas, sehingga damen padi lokal juga kurang baik jika dijadikan pakan ternak. Tapi bagi anak-anak kecil batang padi itu bisa dijadikan sebagai bahan pembuat demenan.
Perbedaan lainnya adalah masa atau usia tanam hingga panen. Padi lokal memiliki usia tanam lebih lama dibandingkan dengan padi kualitas unggul. Jika padi unggul bisa dipanen dalam waktu tiga bulan, padi lokal memerlukan waktu antara empat sampai empat setengah bulan.
Demikian juga dengan bentuk bulir/biji padi, padi lokal memiliki bulir yang lebih besar dan lebih banyak dibanding dengan padi varietas unggul.
Sejatinya padi lokal memiliki banyak kelebihan diantaranya adalah bulir yang dihasilkan lebih besar dan lebih banyak. Rasa padi lokal juga lebih enak dan yang pasti kandungan gizi padi lokal lebih baik dari pada padi varietas unggul. Untuk masalah gizi ini, mungkin sudah menjadi rahasia umum jika padi merah memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Padi merah atau lazim disebut ‘pari gogo’ atau ‘pari brendel kata orang Payaman’ merupakan salah satu jenis varietas lokal yang sering ditanam oleh masyarakat Solokuro, disamping ada jenis lain sepeti ‘pari ketan’ yang juka sangat nikmat jika diolah menjadi aneka jenis jajanan, serta ‘pari putih’ yang unggul dalam kualitas cita rasa.
Namun, padi varietas lokal kini sudah sangat jarang sekali ditemui. Faktor efektivitas baik masa panen, perawatan, maupun cara panen “mungkin” menjadikannya tersisih dari persaingan dalam merebut simpati para petani. Petani lebih memilih pari cetek yang lebih cepat panen. Seiring dengan semakin jarangnya ‘atau mungkin sudah tidak ada’ tanaman padi varietas lokal, beberapa kegiatan khas mengenai tata cara perawatan dan pengelolaan padi lokal tersebut juga menghilang dari dunia per-ngalasan ”baca; per tanian” kita.
Menanam padi lokal hampir pasti dilakukan dengan cara ‘ditampek’ tidak dengan cara ditandur sebagaiman pari endek (walaupun pari endek juga bisa dengan cara ditampek). Setelah beberapa bulan, padi yang sudah meninggi dan mungsu (berbuah) sangat rentan dengan kondisi ‘rebah’yakni padi yang tidak mampu berdiri tegak karena terpaan angin, dan biasanya para petani akan mengikat batang padi dengan ikatan-ikatan kecil agar batang padi dapat menyatu dan kembali berdiri tegak, disamping itu, dengan mengikuti garis galengan padi juga akan dipagari dengan tali ‘uyun’ agar batang padi tidak rebah.
Satu lagi rutinitas sebagai bagian dari pengelolaan pari lokal yang sudah tidak bisa ditemui lagi adalah ani-ani yang merupakan cara memanen padi jenis jero ini. Berbeda dengan ‘ngedhos’ yang lebih praktis, ani-ani memiliki tingkat kesulitan yang njlimet. Memakai alat potong yang juga disebut ‘ani-ani, proses memanen ini biasanya dilakukan oleh para ibu-ibu. Caranya adalah ani-ani diapit di tangan kanan kemudian dipakai memotong satu per satu, helai demi helai pangkal dahan padi sedangkan tangan kiri membawa hasil padi yang sudah dipetik. Helaian padi yang suda panen tersebut akan dikumpulkan kemudian di-agem atau digem. Ageman padi ini biasanya memiliki ukuran yang hampir sama walaupun dilakukan dengan kiro-kiro (perkiraan). Kalau ngeni merupakan bagian ibu-ibu, untuk urusan ngagem biasanya menjadi tugas bapak-bapak disamping karena butuh tenaga yang kuat untuk mengikat juga untuk angkut-angkut padi tersebut. Setelah semua proses selesai, ageman padi tersebut akan dibawa pulang dengan cara dipikul pakai pikulan pucuk-an maupun dengan wadah boran (yang sekarang juga sudah mulai langka).
Ada yang unik dari kegiatan ani-ani ini, pihak pemanen akan mendapatkan bantun dari beberapa ibu-ibu yang sengaja menjajahkan jasa untuk ikut andil dalam kegiatan panenini. Para ibu-ibu itu biasanya berangkat dari rumah dengan berbekal alat ani-ani ditangan. Mereka akan keliling ke ladang-ladang, mencarai di mana ada area padi yang sedang dipanen. Kegiatan ibu-ibu itu lazim disebut ‘derep. Jika mendapati pemilik lahan yang sedang memanen, ibu-ibu derep itu akan menawarkan jasanya dengan cara bertanya kepada si empunya ladang...’ape direwangi ta yu...?’ yang artinya ‘apa panennya membutuhkan bantuan..?’ bagi yang membutuhkan jasa, tawaran tersebut akan mendapat sambutan ‘iyo...nang mreneo...’ iya silahkan ke sini, atau ‘ora...di-eni dewe wae...wong mek saitik wae kok...’ tidak di-eni sendiri saja wong cuma sedikit ini itu jawaban yang disertai alasan jika si pemilik ladang tidak membutuhkan jasa derep.
Selanjutnya ibu-ibu derep ini tidak mendapatkan imbalan uang melainkan mendapat bagian padi hasil panen yang lazim disebut ‘bawon’. Ukuran bawon ini biasanya diukur atau ditakar dari hasil mereka memanen padi. Sang tuan rumah-pun tidak perlu repot-repot menyediakan makanan dan minuman, karena umumnya ibu-ibu derep itu membawa sendiri bekal makanan dan minuman mereka masing-masing.
Panen telah usai dan matahari telah memerah diufuk barat, para petani itu pulang dengan hasil panennya masing-masing. Anak-anak kecil yang mengikuti proses panen ini juga menambah keceriaan waktu pulang dengan meniupkan demenan dari batang padi. Teeet....teeet...teet.... riuh memang suasana ngeni pari
----oOo----
Sesampai di rumah, padi akan dijemur keesokan harinya dengan cara di-eler, setelah kering padi tersebut digem lagi dan disimpan dalam sebuah wadah besar yang disebut bonang. Terbuat dari anyaman bambu, bonang merupakan bentuk raksasa dari boran. Setiap rumah memiliki bonang sebagai tempat padi, dan inilah lumbung untuk persediaan pangan beberapa bulan dan tahun ke depan.
jika hendak dikelolah menjadi beras, ageman padi tersebut akan kembali dijemur untuk beberapa saat, kemudian di ikat kecil-kecil. Satu agem bisa menjadi puluhan ikat kecil. Setelah itu, padi yang telah diikat tersebut akan dirontokkan dengan cara ditumbuk atau ditutu. Alat nutu ini berbentuk palu yang terbuat dari potongan batang kayu sedang yang disebut ganden. Bentuk ganden ini sangat khas, sehingga jika ada anak kecil yang memiliki bentuk kepala yang memanjang ke belakang (seperti milik teory henry-lah) anak tersebut sering diejek dengan julukan bocah ngganden sebagai penerjemahan kepala yang mirip ganden semoga dengan hilangnya alat ini termonologi ngganden juga akan hilang kosa kata Solokurois.
4 komentar:
panen padi kayak gituan,, itu tahun sejak tahun barapa to,,,
kok q g' pernah tau,,,
emange tekane mesin dos nek solokuro iku g' awet mbiyen toh,,,,
sampean ini lahir tahun berapa? dulu waktu padi lokal masih jadi andalan petani cara panennya dengan ani-ani. Dos di Solokuro ada sekitar 87an yang pertama buat adalah pak Ali (kakaknya Sholiq Makrim)
yang masih jual ani ani siapa nggih. ibuk saya butuh buat manen padi.
wa 08562653938
Masih adakah benih padi brendel. Saya sedang mencari2 benihnya untuk dikembangkan lagi sebagai varietas unggul lokal Lamongan pantura
Posting Komentar